Apel lokal yang sebelumnya tersingkir apel washington ini mulai diburu pembeli maupun pedagang. Permintaan melonjak, harga pun melejit sampai 70 persen di tingkat pedagang, dari Rp 3.000 ke Rp 5.000 per kg. Apalagi apel malang kini terasa lebih manis dan menggairahkan para petani di daerah dingin Kota Batu, Jawa Timur.
Kebijakan pemerintah melarang impor enam jenis buah ternyata efektif mendongkrak pemintaan maupun harga buah lokal yang dirasakan pula oleh kalangan petani melon di Rembang, Jawa Tengah, dan sentra-sentra buah yang lain di berbagai daerah.
Wakil menteri pertanian menegaskan bahwa pemerintah melarang 13 jenis produk hortikultura masuk ke Indonesia selama enam bulan, dari Januari hingga Juni 2013. Produk tersebut adalah melon, durian, pisang, pepaya, nanas, mangga, kentang, wortel, cabai, kubis, serta bunga krisan, anggrek, dan heliconia. Hal ini didasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60/Permentan/OT.140/9/2012, yang menyatakan 13 produk tersebut tidak mendapatkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH).
Pengamanan agar ke-13 produk impor agar tidak masuk melalui pelabuhan maupun bandara di Indonesia pun dilakukan oleh Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan. Mereka pun sigap, dengan menegaskan akan menjadi penjaga gawang agar produk-produk tersebut tak lolos ke pasar dalam negeri.
Bea Cukai tidak gamang menyetop impor 13 produk tersebut, meski menteri perdagangan (mendag) mengatakan Indonesia tidak melarang atau menghentikan impor produk hortikultura tersebut selama enam bulan. Mendag hanya mengatakan akan menghormati apa yang direkomendasikan Kementerian Pertanian (Kemtan).
Duet Kemtan dan Bea Cukai ini pantas diacungi jempol. Sinergi lintas kementerian memang dibutuhkan untuk membendung kesewenangan impor dan melindungi petani buah dalam negeri. Apalagi, banyak oknum pemegang otoritas dan orang-orang di lingkarannya selalu mencari alasan agar impor dibuka, sehingga bisa kongkalikong untuk meraup fee impor triliunan rupiah.
Harga buah impor ada yang naik hingga 50 persen, bahkan beberapa hingga 200 persen. Ini sebagai bukti kebijakan pemerintah yang hanya melarang enam jenis buah masuk untuk sementara langsung menggoyang dominasi buah impor.
Harga buah yang tidak dilarang impor hanya dibatasi kuotanya, seperti apel dan anggur, juga naik hingga 200 persen. Harga jeruk mandarin yang semula Rp 8.000 per kg kini sudah di atas Rp 25.000 kg. Sedangkan harga buah lokal, seperti apel malang naik dari Rp 12.000 menjadi Rp 14.000 per kg. Demikian pula melon dari Rp 7.000 menjadi Rp 7.500 per kg, sedangkan manggis dari Rp 10.000 menjadi Rp 12.000 per kg.
Permintaan buah asing pun langsung anjlok, sehingga impor turun drastis. Maklum, pembeli beralih memburu buah lokal yang harganya masih terjangkau. Para pedagang pun tak mau berisiko, hanya menyetok sedikit.
Momentum pasar buah lokal yang menggeliat ini harus segera ditindaklanjuti pemerintah. Para petani buah harus didukung dengan dipasok pupuk dan sarana produksi (saprodi) yang lain, mulai dari bibit unggul hingga penanganan hama dan penyakit yang bisa merugikan petani ratusan juta rupiah.
Kemtan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian, harus bekerja sama untuk menyediakan teknologi pengemasan dan penanganan pascapanen yang terjangkau oleh kelompok tani. Setelah panen, sortasi, dan pengemasan produk, harus segera dilakukan, kemudian langsung masuk mata rantai sistem pendingin.
Sistem pendingin inilah yang memperpanjang “masa hidup” produk dan menjaga mutu pascapanen. Dengan cara ini, kualitas buah lokal akan meningkat dan terjaga segar dalam waktu lama, sehingga bisa diangkut ke kota-kota besar dan antarpulau. Kelas menengah Indonesia yang berdaya beli tinggi pun menjadi tak ragu untuk membeli.
Pemerintah juga wajib memperbaiki infrastruktur transportasi dan logistik, sehingga biaya distribusi yang kini sangat mahal bisa dipangkas. Dengan demikian, tamatlah cerita ongkos pengiriman jeruk dari Pontianak ke Jakarta lebih mahal ketimbang mengimpor dari Tiongkok.
Kita harus memanfaatkan kelas menengah Indonesia yang telah mencapai 50 juta orang dan akan terus bertambah. Mereka merupakan pasar buah yang sangat menggiurkan. Itulah sebabnya, Amerika Serikat (AS) sebagai salah satu eksportir buah terbesar di dunia mengamuk. Dengan dalih merugikan investasi, AS menggugat Indonesia ke World Trade Organization (WTO) atas larangan masuk buah mereka ke Indonesia.
Selama kebijakan yang dibuat pemerintah berdampak positif mengangkat produk dan petani. Pemerintah Indonesia tak perlu gentar dengan gugatan ke WTO tersebut. Hal ini sekaligus memompa harapan dan dukungan moril kebangkitan produksi dalam negeri. Produksi dan pelaku usaha di dalam negeri yang kian terabaikan akibat gempuran produk impor, sudah saatnya dilindungi. Apalagi, petani kita yang mayoritas masih miskin dan minim keberpihakan pemerintah.
Karena itu, larangan impor harus diperpanjang dan bahkan dipermanenkan. Keberpihakan ini harus pula didukung semua kementerian dan instansi, tanpa kecuali.
Sumber: BeritaSatu
0 comments:
Post a Comment